Pada perayaan Jumat Agung, Gereja Katolik mengadakan upacara
penghormatan/ penciuman Salib Kristus. Ada sejumlah orang yang
mempertanyakannya, bahkan mencurigainya sebagai ‘berhala’. Untuk itu kita perlu
memahami makna penciuman Salib, dan apakah pengertian berhala, agar kita dapat
membedakannya.
Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala,
karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang
tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa kita.
Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda
Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus, “Aku telah memutuskan
untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Yesus
Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). Itulah juga sebabnya,
mengapa salib di Gereja Katolik menyertakan tubuh (corpus) Kristus, yang
disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah: Seseorang yang
disalibkan. Penghormatan terhadap Crucifix ini disebut sebagai dulia
relatif, yang arti dan dasar Kitab Suci-nya sudah dijabarkan di artikel sebelumnya, silakan klik.
Selama masa Prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk
merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik,
yaitu Allah Bapa yang mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk
datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Dan kasih-Nya
kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana
Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan
kita manusia. Dari pengorbanan di salib inilah, maka seluruh berkat dari Allah
mengalir dan Roh Kudus juga tercurah kepada umat-Nya. Jadi kita
melihat bahwa tanpa peristiwa wafat Yesus di salib atau Jumat Agung tidak
akan ada kebangkitan Kristus atau Minggu Paskah. Untuk inilah salib menjadi
tanda kemenangan dan kekuatan Allah (1 Kor 1:18).
Penghormatan salib Kristus
dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian
berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang. Kita tidak dapat merayakan dan
menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu
salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya.
Jadi penciuman salib adalah berakar dari tradisi yang
mempunyai dasar teologi yang dalam. Kalau kita perhatikan semua yang dilakukan
di dalam liturgi adalah merupakan ungkapan ekspresi iman yang keluar dari hati.
Juga penciuman salib Kristus adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati,
yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu
mengasihi kita. Tentang dalamnya Makna Tanda Salib, silakan membaca di
sini, silakan klik.
Pertanyaannya, apakah di ibadat Jumat Agung, kita boleh maju
dan menghormati Kristus tanpa mencium salib? Boleh saja, sejauh hati kita
benar-benar mengasihi Kristus dan menghormati dan mensyukuri pengorbanan-Nya.
Namun bagi kami pribadi, kami memilih untuk mencium salib. Tidak ada
penghormatan bagi Kristus Tuhan yang terlalu berlebihan. Semua penghormatan yang
kita lakukan adalah selalu kurang dibandingkan apa yang seharusnya diterima
oleh Yesus. Pada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri
rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita
mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada
kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13).
Dan penyerahan diri ini nyata terlihat dari Sang Crucifix, yaitu Kristus yang
tersalib.
“Tuhan Yesus, terima kasih atas pengorbanan-Mu di kayu salib
bagiku. Bantulah aku untuk bersama Rasul Paulus, mengatakan ini dengan iman:
“Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku
sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang
kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang
telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku.” (Gal 2:19-20)
Sumber : http://katolisitas.org/
Post a Comment Blogger Facebook