Paroki St. Arnoldus Janssen

Paroki St. Arnoldus Janssen
 

Pada perayaan Jumat Agung, Gereja Katolik mengadakan upacara penghormatan/ penciuman Salib Kristus. Ada sejumlah orang yang mempertanyakannya, bahkan mencurigainya sebagai ‘berhala’. Untuk itu kita perlu memahami makna penciuman Salib, dan apakah pengertian berhala, agar kita dapat membedakannya.

Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus, “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). Itulah juga sebabnya, mengapa salib di Gereja Katolik menyertakan tubuh (corpus) Kristus, yang disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah: Seseorang yang disalibkan. Penghormatan terhadap Crucifix ini disebut sebagai dulia relatif, yang arti dan dasar Kitab Suci-nya sudah dijabarkan di artikel sebelumnya, silakan klik.

Selama masa Prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik, yaitu Allah Bapa yang mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Dan kasih-Nya kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia. Dari pengorbanan di salib inilah, maka seluruh berkat dari Allah mengalir dan Roh Kudus juga tercurah kepada umat-Nya. Jadi kita melihat bahwa tanpa peristiwa wafat Yesus di salib atau Jumat Agung tidak akan ada kebangkitan Kristus atau Minggu Paskah. Untuk inilah salib menjadi tanda kemenangan dan kekuatan Allah (1 Kor 1:18).

Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang. Kita tidak dapat merayakan dan menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya.

Jadi penciuman salib adalah berakar dari tradisi yang mempunyai dasar teologi yang dalam. Kalau kita perhatikan semua yang dilakukan di dalam liturgi adalah merupakan ungkapan ekspresi iman yang keluar dari hati. Juga penciuman salib Kristus adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tentang dalamnya Makna Tanda Salib, silakan membaca di sini, silakan klik.

Pertanyaannya, apakah di ibadat Jumat Agung, kita boleh maju dan menghormati Kristus tanpa mencium salib? Boleh saja, sejauh hati kita benar-benar mengasihi Kristus dan menghormati dan mensyukuri pengorbanan-Nya. Namun bagi kami pribadi, kami memilih untuk mencium salib. Tidak ada penghormatan bagi Kristus Tuhan yang terlalu berlebihan. Semua penghormatan yang kita lakukan adalah selalu kurang dibandingkan apa yang seharusnya diterima oleh Yesus.  Pada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13). Dan penyerahan diri ini nyata terlihat dari Sang Crucifix, yaitu Kristus yang tersalib.

“Tuhan Yesus, terima kasih atas pengorbanan-Mu di kayu salib bagiku. Bantulah aku untuk bersama Rasul Paulus, mengatakan ini dengan iman: “Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku.” (Gal 2:19-20)

Sumber : http://katolisitas.org/

Post a Comment Blogger

 
Top