Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) saat ini sedang melakukan
karya perutusan ‘pinggiran’ dalam arti luas. Walaupun hal kecil, apa yang telah
dilakukan Gereja sebagai bentuk syukur dan kepedulian, dilakukan dalam
usaha untuk semakin mengikuti Yesus Kristus, dan mewujudkan ajakan Bapa Suci,
Fransiskus, untuk pergi ke ‘pinggiran’.
Demikian ‘benang merah’ Surat Gembala Prapaskah
2015 Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo yang dibacakan para imam di
seluruh paroki KAJ pada perayaan Ekaristi di hari Sabtu dan Minggu, 14-15
Februari 2015, sebagai pengganti homili Minggu Biasa VI.
Oleh karena itu, Mgr Suharyo meminta umatnya untuk saling
mendoakan, “agar kita masing-masing, keluarga-keluarga dan komunitas kita serta
seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta terus berkembang dan menjadi
pribadi-pribadi, keluarga dan komunitas yang semakin bersyukur serta peduli,”
dan berharap agar “semangat Gembala Baik Dan Murah Hati, semakin mendorong
semua umat di KAJ untuk semakin kreatif mewujudkan syukur dan kepeduliaan
kita.”
Masa Prapaskah, lanjut Mgr Suharyo, adalah masa perziarahan
rohani yang akan semakin bermakna jika ditandai dengan doa, karya serta kasih
yang tulus. “Dengan demikian kita dapat memetik buah-buah penebusan yaitu hidup
baru yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Hidup baru itu akan membuat
kita mampu menjalankan nasehat Rasul Paulus, yaitu agar kita melakukan segala
sesuatu hanya demi kemuliaan Tuhan,” tulis Mgr Suharyo.
Lebih lanjut ditulis bahwa Masa Prapaskah 2015 dijalani
ketika umat merayakan Tahun Syukur KAJ yang mendalami semboyan “Tiada Syukur
Tanpa Peduli”. Semboyan itu, jelas Mgr Suharyo, “mencerminkan dinamika hidup
beriman kita yang kita harapkan menjadi semakin ekaristis. Dalam perayaan
Ekaristi kita mengenangkan Yesus yang “mengambil roti, mengucap
syukur, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada
murid-murid-Nya”. Dengan demikian jelas bahwa bentuk syukur yang paling sesuai
dengan teladan Yesus adalah kerelaan untuk “dipecah-pecah dan dibagikan”,
seperti roti ekaristi.”
Merujuk Bacaan Injil di hari Minggu 15 Februari 2015 saat
Surat Gembala itu dibacakan yakni Mrk 1:40-45, Mgr Suharyo mengajak umatnya
untuk belajar dari Yesus untuk mengembangkan sikap peduli.
“Orang kusta yang diceritakan dalam Injil adalah wakil dari
sekian banyak saudari-saudara kita yang terpinggirkan pada zaman kita sekarang
ini. Mereka itu misalnya adalah saudari-saudara kita yang tidak mempunyai Akte
Kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk, sehingga tidak bisa memperoleh hak-hak
mereka sebagai warga negara; saudari-saudara kita yang dicap dengan stigma yang
menutup kemungkinan untuk mengembangkan diri; atau yang lebih kasat mata,
mereka yang tinggal di jalanan atau di gerobak-gerobak sampah, yang menjadi
korban perdagangan manusia, dan mereka yang secara umum bisa disebut
direndahkan martabat pribadinya sebagai manusia.
“Seperti orang kusta dalam Injil mereka juga berseru mohon
disembuhkan. Seruan seperti itu, terwakili misalnya dalam seruan seorang remaja
putri jalanan yang diberi kesempatan untuk berbicara dengan Paus dalam
kunjungannya ke Filipina baru-baru ini. Sesudah menceritakan riwayat hidupnya
sebagai anak jalanan, remaja putri itu berkata, “Bapa Suci, mengapa Tuhan
membiarkan anak-anak seperti kami ini dibuang oleh orangtua kami, hidup di
jalanan, dilecehkan tanpa ada yang membela kami ….”. Anak itu tidak bisa
menyelesaikan kalimatnya, hanya menangis keras. Dan Bapa Suci pun tidak tahu
harus berkata apa untuk menanggapi jeritan hati anak itu selain dengan
mendekapnya.”
Rupanya kenyataan pinggiran seperti ini ada di
mana-mana, sehingga dalam Seruan Apostolik Sukacita Injil, Paus Fransiskus
mengajak semua umat untuk pergi masuk ke tengah-tengah kenyataan pinggiran
dalam arti yang seluas-luasnya. “Kita boleh bersyukur karena di keuskupan kita
perutusan untuk pergi ke “pinggiran” semakin dikembangkan secara kreatif,”
tulis Mgr Suharyo.
(Konradus R. Mangu)
Sumber : http://penakatolik.com/
Post a Comment Blogger Facebook